Sunday, November 16, 2008

coba nuLis aja,,,

Disudut jendeLa itu aku menatap segaLa yang ada diLuar sana. Sudut kamar Lantai dua yang tak begitu Luas, tapi cukup untuk ku tata kasur 1x2 meter, Lemari 0,5x1 meter dengan tinggi sekitar 180cm dan empat petak karpet puzeL 4x4 warna ukuran standar untuk aLas Lantai keramik yang cukup dingin dimaLam hari. Ku bawa pandanganku jauh meLewati pagar istana masa depan Terban yang Luas dengan hiasan pohon-pohon kamboja aneka warna.

Terasa heLaan nafas daLam ku rasakan keLuar dari rongga paru-paruku. KeLopak mata yang muLai LeLah, entah apa penyebabnya. Apakah aktivitasku yang sudah harus dimuLai sejak pagi hingga jeLang senja, atau karena air mata ini yang tak kunjung reda mengaLir.

SesekaLi kuLihat jam dinding buLat berwarna hijau pemberian adik keLasku sewaktu wisuda S1 LaLu, ia terus berputar menjaLankan tugasnya, tetapi aku hanya berdiam, berpura-pura menatapi apa yang terLihat mata, waLaupun hatiku jauh berada ditempat tak terduga. Apakah aku begitu rapuhnya, mengapa kebencian ini tak kunjung mereda. Semua terasa begitu menyakitkan, dan rasa ini tak kunjung hiLang, menghaLangi setiap Langkah dan harapan. Sungguh aku tak ingin Kau biarkan benih kebencian tersemai dihatiku, aku tak mau.

DaLam pembeLaan hati aku menggugat, aku tak pantas diperLakukan begini, aku pantas dihargai, aku pantas disayangi, bukan disakiti, bukan di siakan. Tapi mengapa mereka, tak satupun yang mampu meyakinkanku. Mereka sama saja.

Kedua mataku masih mengarah ke Luar sana, entah pada perspektif mana. Tapi ingatanku membawa pada peristiwa 14 tahun siLam. KaLa itu, tak biasanya, tangan yang seLaLu menyajikan makanan-makanan Lezat untuk dipangan, tangan kuat yang mengaLahkan mesin cuci moderen untuk mencuci pakaian, tangan yang reLa terepercik api dan minyak sayur panas, tangan itu kini memegang garpu hias dinding berukuran 3 kaLi Lipat garupu makan dengan penuh keyakinan. Bukan untuk makan atau mengamankan diri dari binatang buas, tapi untuk diarakan ke seorang pria paruh baya yang seLama 16 tahun ini menjadi suaminya. Diiringin jerit dan tangis anak-anak dari sudut kamar penuh ketakukan.

Ibuku, tak pernah kuLihat ia semarah itu, terLebih kepada LeLaki yang ditakdirkan menjadi suaminya. Tapi kaLa itu aku sungguh tidak mengerti. Betapapun ia mengatakan padaku betapa sakit yang ia rasakan, perih yang ia tanggung, pengorbanan yang terasa sia-sia, penantian yang tak berguna. Ya, ayahku tak setia untuk kesekian kaLinya, ia Lagi-Lagi mendua, meninggaLkan ibuku beserta ketiga saudaraku diusia yang beLum genap beLia. Sederhana saja, ia ingin diceraikan, sambiL menggenggam secarik kertas dan pena ditangan kirinya, “ceraikan saya”, teriaknya keras.

Sudah Lama berLaLu, tapi Luka itu baru saja reda 4 tahun beLakangan. Sahabatku, ia yang membuatku yakin bahwa semua tak sama, Lebih banyak yang bisa dipercaya. Ia meyakinkanku betapa dunia begitu indah dengan berbagi dan saLing menjaga kepercayaan, bahwa kepercayaan akan membuat kita yakin untuk menjaga kepercayaan itu sendiri, begitu puLa orang yang kita percaya.

Huh, dadaku terasa sesak sekaLi menahan emosi yang hanya bisa direaLisasi dengan air mata. Tak daya ku hapus air mata dihatiku tiap kaLi aku mengingatnya. Aku pun tak tahu mengapa, tapi aku mengerti bagaimana rasanya perih itu. WaLaupun tak seujung kuku apa yang diaLami Ibu, tapi aku mengerti beberapa bagian episode itu. Aku mengerti, mengapa dia menangis tersedu meLihat kami tak membeLi baju baru dihari raya, bagaimana rasanya LeLaki yang ia sayangi tak hadir disisinya di maLam jeLang hari raya hingga keesokan harinya karena memiLih bersama sang istri muda. Bagimana ia tersedu meLihat kami yang harus makan singkong rebus tiap hari. Bagaimana hatinya menjerit meLihat kami anak-anaknya harus tak membeLi seragam di awaL tahu ajaran baru. Aku mengerti Ibu, aku mengerti rasa benci dan sakit itu.

Mereka seLaLu menghiLang dikaLa kakiku muLai meLangkah ke tangga yang Lebih tinggi, di saat-saat ku butuhkan untuk tetap membuatku teguh, meninggaLkan ku daLam kerapuhan hati yang menggerogoti harapan. Mereka hadir pada dimensi yang berbeda, membawa tabir yang begitu tebaLnya, hanya untuk diLihat, bukan untuk digapai, dan itu Lebih menyakitkan. Tanpa sadar mereka tertawa dan berteriak menyemangati dibaLik tabir itu, dan ironinya kita tak bisa mendengarnya, hanya terasa seperti oLok-oLok saja. Yang tak ku mengerti adaLah, mereka pernah mengaLaminya, mengapa tak mengambiL peLajaran.

No comments: